Praktik Segitiga Restitusi oleh Kepala Sekolah SDN Panaongan III: Mendidik dengan Hati, Memulihkan dengan Nilai

Di tengah-tengah keseharian SDN Panaongan III, sekolah dasar yang terletak di sebuah desa yang tenang, kehidupan belajar berjalan seperti biasa. Anak-anak bermain riang di halaman, guru-guru membimbing dengan sabar, dan di antara mereka berdiri sosok pemimpin yang bersahaja namun penuh wibawa—Bapak Agus Sugianto, sang kepala sekolah yang selalu mengenakan blangkon di kepalanya, menjadi figur teladan sekaligus penjaga nilai-nilai kebijaksanaan di sekolah tersebut.

Namun suatu hari, ketenangan itu terusik oleh sebuah peristiwa yang menyedihkan. Seorang siswa bernama Fauzan menjadi korban tindakan tidak menyenangkan. Kerah bajunya ditarik dengan keras oleh empat teman perempuan hingga membuatnya tercekik dan terluka. Setelah ditelusuri, keempat siswa perempuan itu melakukan tindakan tersebut atas perintah dari seorang siswa laki-laki bernama Rafa.

Penolakan, Penyangkalan, dan Pendekatan yang Menyentuh Hati

Ketika kejadian ini mulai terungkap, Rafa sempat dipanggil untuk dimintai penjelasan. Namun, sebagaimana reaksi umum anak-anak yang diliputi rasa takut dan bingung, Rafa awalnya menolak mengakui keterlibatannya.

“Saya tidak suruh, Bu… mereka sendiri yang tarik,” ujarnya pelan, menghindari tatapan dan menyembunyikan kebenaran.

Guru yang menangani awalnya hampir kewalahan, tetapi kemudian Bapak Agus turun tangan dengan pendekatan yang berbeda. Ia tidak menggunakan nada tinggi, tidak memaksa pengakuan, dan tidak memberi cap "nakal". Sebaliknya, ia mengajak Rafa berbicara secara pribadi di ruang kepala sekolah—bukan untuk dihukum, tapi untuk dipahami.

Dengan blangkon di kepala dan nada suara yang teduh, Bapak Agus mulai membimbing Rafa melalui pendekatan segitiga restitusi, pendekatan restoratif yang menekankan pada kesadaran diri, tanggung jawab, dan pemulihan hubungan.

Langkah 1: Menstabilkan Identitas – “Kamu anak baik, yang sedang melakukan hal yang tidak baik.”

Alih-alih langsung menegur, Bapak Agus berkata,
"Rafa, saya tahu kamu punya rasa kepemimpinan. Tapi seorang pemimpin itu melindungi temannya, bukan membuat temannya takut. Saya percaya kamu bisa bersikap lebih baik dari ini."

Dengan pendekatan ini, Rafa tidak merasa disudutkan atau dijatuhkan. Ia tidak lagi merasa harus membela diri, tapi mulai menyadari bahwa ada seseorang yang percaya ia masih bisa memperbaiki diri.

Langkah 2: Memvalidasi Perasaan – “Apa yang kamu rasakan saat itu?”

Bapak Agus lalu bertanya dengan empati,
"Kamu waktu itu marah sama Fauzan? Atau merasa tidak dihargai?"

Perlahan, Rafa mulai membuka diri. Ia mengaku merasa kesal karena merasa disepelekan oleh Fauzan saat bermain. Ia ingin menunjukkan bahwa dirinya juga harus dihormati. Dan tanpa disadari, ia menyalurkan amarah itu dengan cara yang salah—menyuruh teman-teman perempuannya untuk menarik baju Fauzan.

Dengan kepala tertunduk dan suara yang lirih, akhirnya Rafa mengakui seluruh perbuatannya. Bukan karena ditekan, tapi karena merasa aman untuk jujur.

Langkah 3: Menawarkan Perbaikan – “Apa yang bisa kamu lakukan agar hubungan ini pulih?”

Setelah pengakuan itu, Bapak Agus tidak langsung memberikan sanksi. Ia justru bertanya,
"Kalau kamu ingin memperbaiki keadaan, menurutmu apa yang bisa kamu lakukan?"

Rafa berpikir sejenak, lalu dengan tulus menjawab,
"Saya mau minta maaf langsung ke Fauzan dan ke teman-teman yang saya suruh. Saya salah, Pak."

Dan ia pun melakukannya.

Di hadapan guru dan beberapa teman kelasnya, Rafa mendekati Fauzan, menatap matanya, dan berkata dengan penuh penyesalan,
"Maaf, Fauzan. Aku sudah nyuruh teman-teman narik bajumu. Aku nyesel. Aku janji nggak akan begitu lagi."

Lalu satu per satu, Rafa menghampiri keempat teman perempuannya dan meminta maaf karena telah menyuruh mereka melakukan sesuatu yang salah. Ia bertanggung jawab penuh atas tindakannya, tanpa menyalahkan siapa pun.

Penutup: Kekuatan Pendidikan yang Memanusiakan

Melalui proses segitiga restitusi, Bapak Agus tidak hanya menyelesaikan konflik, tapi juga membimbing Rafa untuk mengenal dirinya sendiri, menyadari kesalahannya, dan memilih jalan yang benar.

Peristiwa ini menjadi pelajaran besar bukan hanya bagi Rafa, Fauzan, atau teman-temannya—tetapi bagi seluruh warga sekolah. Bahwa dalam dunia pendidikan, kesalahan bukanlah akhir, melainkan awal dari perubahan. Dan tugas seorang pendidik bukan hanya memberi sanksi, tapi menciptakan ruang aman untuk bertumbuh.

Dengan blangkon di kepalanya dan kebijaksanaan di hatinya, Bapak Agus Sugianto membuktikan bahwa disiplin sejati bukan tentang membuat takut, melainkan membuat sadar. Bahwa pemulihan lebih kuat daripada hukuman. Dan bahwa seorang anak yang dibimbing dengan hati akan tumbuh menjadi pribadi yang bertanggung jawab, karena ia belajar bukan hanya untuk tahu, tapi untuk menjadi manusia yang lebih baik.


Posting Komentar untuk "Praktik Segitiga Restitusi oleh Kepala Sekolah SDN Panaongan III: Mendidik dengan Hati, Memulihkan dengan Nilai"